Senin, 15 Agustus 2011

KTI Keperawatan JIwa Skizofrenia Residual

AKADEMI KEPERAWATAN KABUPATEN SUBANG
SUBANG, AGUSTUS 2011

GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN KELUARGA YANG MEMILIKI ANGGOTA KELUARGA DENGAN SKIZOFRENIA RESIDUAL DI POLI KLINIK JIWA RSUD KABUPATEN SUBANG TAHUN 2011


ABSTRAK

5 Bab, 48 Halaman, 6 Tabel, 2 Gambar, 9 Lampiran.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh angka kejadian Skizofrenia Residual di poli klinik jiwa RSUD Kabupaten Subang yang cukup tinggi dengan urutan ke 2 setelah Defresi Somatik, di takutkan kecemasan keluarga akan semakin meningkat yang memiliki anggota keluarga dengan penyakit seperti ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang tingkat kecemasan keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual. Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai berbagai keluhan fisik. Schizofrenia Residual merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh Schizofrenia yang berulang, menarik diri dan efek yang tidak serasi yang merupakan kelainan dari gangguan ini. Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif, populasinya adalah 156 keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual. Sampel dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik total sampling. Pengumpulan data di peroleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner dan melihat rata – rata kunjungan setiap bulannya adalah 26 orang. Hasil penelitian Responden dengan kelompok umur 20 – 30 tahun (Dewasa Muda) menunjukan presentasi yang cukup tinggi yaitu 22 orang (84,6%), Responden terbanyak adalah jenis kelamin perempuan yaitu 17 orang (65,4%), Responden yang berpendidikan sekolah dasar (SD) menunjukan 15 orang (61,5%). Peneliti menyimpulkan bahwa rata – rata responden dengan kelompok umur 20 - 30 tahun (Dewasa Muda), dan jenis kelamin perempuan serta berpendidikan sekolah dasar (SD) mayoritas mengalami kecemasan sedang. Hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan mengurangi keluarga tentang tingkat kecemasan dengan skizofrenia residual.

Kata Kunci : Kecemasan, Skizofrenia Residual
Daftar Pustaka : 39 (2001-2010)


BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan sehat jiwa tidak hanya terbatas dari gangguan jiwa tetapi merupakan suatu hal yang dibutuhkan semua orang, kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup dapat menerima orang lain sebagaimana adanya,serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Menkes RI, 2005).
Menurut Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan (Depkes), Syafii Ahmad, kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap Negara termasuk Indonesia. Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan stres tersebut (Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Dan Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, 2007).
Ketidakmampuan individu untuk beradaptasi terhadap lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan jiwa. Supaya dapat mewujudkan jiwa yang sehat, maka perlu adanya peningkatan jiwa melalui pendekatan secara promotif, preventif dan rehabilitatif agar individu dapat senantiasa mempertahankan kelangsungan hidup terhadap perubahan – perubahan yang terjadi pada dirinya maupun pada lingkungannya termasuk beberapa masalah gangguan jiwa yang diantaranya skizofrenia (Windyasih, 2008).
Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofrenia Tipe I ditandai dengan menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan asosiasi longgar, sedangkan pada Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala negative seperti penarikan diri, apati, dan perawatan diri yang buruk (Hawari, 2003).
Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini di tandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitf dan persepsi. Sedangkan gejala negatifnya antara lain seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar, serta terganggunya relasi personal. Tampak bahwa gejala-gejala skizofrenia menimbulkan hendaya berat dalam kemampuan individu berfikir dan memecahkan masalah, kehidupan afek dan menggangu relasi personal. Kesemuanya mengakibatkan pasien skizofrenia mengalami penurunan fungsi ataupun ketidakmampuan dalam menjalani hidupnya, sangat terhambat produktivitasnya dan nyaris terputus relasinya dengan orang lain (Setiadi, 2006).
Dalam melakukan perawatan klien dengan gangguan jiwa, maka perlu adanya dukungan keluarga karena faktor keluarga menempati hal vital dalam penanganan pasien gangguan jiwa dirumah. Hal ini mengingat keluarga adalah support system terdekat selama 24 jam bersama-sama dengan pasien. Keluarga sangat menentukan apakah pasien akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang mendukung pasien yang konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program pengobatan secara optimal. Dengan adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, maka akan mempengaruhi terhadap kebutuhan sistem pada keluarga tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh Biegel et al, 1995 yang dikutip dari Stuart dan Laraia, 2001, bahwasanya dari keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual yaitu dengan meningkatnya stres dan kecemasan keluarga, hal ini ditandai dengan adanya respon yang berbeda pada setiap anggota keluarga dalam kesiapan menerima anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. (Windyasih, 2008).
Menurut WHO (World Health Organization), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius, paling tidak ada satu dari empat didunia mengalami masalah mental, dengan perkiraan sekitar 450 juta orang didunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sementara itu menurut Direktur WHO wilayah Asia Tenggara Dr. Uton Muctar Rafei mengatakan bahwasanya hampir satu pertiga dari penduduk wilayah ini pernah mengalami gangguan Neuropsikiatri, di Indonesia diperkirakan sebesar 264 dari 1000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa di Indonesia diperkirakan terus meningkat. Jumlah populasi penduduk Indonesia yang terkena gangguan jiwa berat mencapai 1-3 persen di antara total penduduk. Jika penduduk Indonesia diasumsikan sekitar 200 juta, tiga persen dari jumlah itu adalah 6 juta orang. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, menurut RISKESDAS, 2007 (Windyasih, 2008).
Dari hasil pencatatan data selama enam bulan terakhir yaitu bulan September 2010 sampai bulan Februari 2011, jumlah penderita yang mengalami Skizofrenia Residual dalam 10 penyakit yang terbesar diPoliklinik Jiwa RSUD Subang sebagai berikut :
Tabel 1.1
Jumlah Klien Dengan Gangguan Jiwa Di Poliklinik Jiwa Dari Bulan September 2010 Sampai Bulan Februari 2011
No Diagnosa Medis Jumlah Pengunjung Jumlah Dalam Persen
1. Depresi 123 Orang 7,00%
2. Depresi Somatik 195 Orang 11,10%
3. Depresi Psikotik 148 Orang 8,42%
4. Skizofrenia Hebefrenik 38 Orang 2,17%
5. Skizofrenia Paranoid 97 Orang 5,52%
6. Skizofrenia Residual 156 Orang 9,56%
7. Gangguan Neurosa Cemas 45 Orang 2,56%
8. Gangguan Afektif 61 Orang 3,47%
9. Epilepsi 49 Orang 2,79%
10. Gangguan Somatoform 38 Orang 2,17%
Jumlah 950orang
Sumber : Data dari poliklinik jiwa RSUD Subang

Berdasarkan data diatas yang diperoleh dari poliklinik jiwa RSUD Subang, jumlah klien dengan skizofrenia residual sebanyak 9,56% terbesar ke 2 setelah Depresi Somatik. Dari hasil wawancara dengan 10 keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan skizofrenia residual, bahwasanya 6 dari keluarga yang diwawancarai mengatakan cemas dikarenakan keluarga merasa takut akan kekambuhan anggota keluarganya yang sakit dan masalah biaya pengobatannya terlalu mahal. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Tingkat Kecemasan Keluarga Yang Memiliki Anggota Keluarga Dengan Skizofrenia Residual Di Polikilinik Jiwa RSUD Kabupaten Subang Tahun 2011”.

B.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini “Bagaimana Gambaran Tingkat Kecemasan Keluarga Yang Memiliki Anggota Keluarga Dengan Skizofrenia Residual Di Poliklinik Jiwa RSUD Kabupaten Subang Tahun 2011?”.

C.Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penulisan karya tulis ilmiah adalah sebagai berikut:
1.Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat kecemasan keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual.
2.Tujuan Khusus
a.Untuk memperoleh gambaran tingkat kecemasan pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual berdasarkan umur.
b.Untuk memperoleh gambaran tingkat kecemasan pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual berdasarkan jenis kelamin.
c.Untuk memperoleh gambaran tingkat kecemasan pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual berdasarkan tingkat pendidikan.

D.Manfaat Penelitian
1.Manfaat Teoritik
Penelitian ini hasilnya diharapkan dapat menjadi bahan dalam menambah khasanah ilmu dan pengetahuan khususnya bagi keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa serta tentang gambaran umum tingkat kecemasan.
2.Manfaat Praktis
a.Bagi Institusi pendidikan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan dibagian keperawatan jiwa dan sebagai sumber bacaan dimasa yang akan datang.
b.Institusi Pelayanan Kesehatan.
Sebagai masukan bagi perawat pelaksana Unit Pelayanan Keperawatan Jiwa di poliklinik jiwa RSUD Subang dalam rangka mengambil kebijakan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya pada klien yang mengalami Skizofrenia Residual.
c.Bagi Keluarga.
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi keluarga tentang kecemasan dengan gangguan jiwa (khususnya mengenai gambaran tentang kecemasan keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Skizofrenia Residual
1. Definisi
Scihzoprenia adalah kombinasi dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani Schizein “ membagi “ dan Phrein “ pikiran ”. Menurut Bleuler tidak untuk membagi kepribadian yang berarti mempunyai identitas terpisah-pisah tetapi maksudnya bahwa pemisahan terjadi antara kesadaran dan aspek emosi pribadi. Kebingungan mengenai arti ini berlanjut sampai dengan sekarang (Stuart and Sundeen, 2005).
Schizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada fikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham-waham yang terkadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal, yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu (Mansjoer, 2001).
Schizofrenia Residual adalah keadaan Schizofrenia dengan gejala-gejala primiernya tetapi tidak jelas adanya gejala sekunder, keadaan ini timbul setelah beberapa kali serangan Schizofrenia (Maramis, 2001)
Schizofrenia Residual merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh Schizofrenia yang berulang, menarik diri dan efek yang tidak serasi yang merupakan kelainan dari gangguan ini.
(Milafitria, 2005, ¶ 1, http://www. Jiptummpp pdf.co.id, diperoleh tanggal 29 Maret 2011).

2.Etiologi
a.Keturunan
Faktor keturunan mempunyai pengaruh yang besar untuk menentukan timbulnya schizophrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga schizophrenia dan terutama pada anak-anak kembar satu telur. Tetapi pengaruh keturunan tidak sederhana seperti hukum-hukum Mendel tentang hal di sangka bahwa potensi untuk mendapatkan schizophrenia diturunkan (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantug pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi schizophrenia atau tidak.
b.Endokrin
Dahulu dikira bahwa schizophrenia mungkin disebabkan oleh suatu gangguan endoktrin. Teori ini dikemukakan berhubungan dengan sering timbulnya schizophrenia pada suatu pubertas, waktu kehamilan, tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan.
c.Metabolisme
Ada orang yang menyebutkan bahwa schizophrenia disebabkan oleh suatu metabolisme, karena penderita schizophrenia tampak pucat dan tidak sehat, ujung ektremitas agak cyanosis, napsu makan kurang dan berat badan menurun.
d.Susunan syaraf pusat
Adanya yang mencari penyebab schizophrenia ke arah kelainan susunan syaraf pusat. Yaitu pada diensefalon kortex otak.
e.Teori Adolf Meyer
Schizophrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah, sebab dari dahulu hingga sejarang para sarjana tidak dapat menurunkan kelainan patologis-anatonis, atau fisiologis yang khas pada susunan syaraf oleh karena itu timbul suatu disorgenisasi kepribadian dan karena kelamaan orang itu menjauhkan dari dari kenyataan.
f.Susunan syaraf Pusat
Menurut teori psikogentik, bila kita memakai Formula Freud, maka pada schizophrenia terdapat :
1)Kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogentik atau pun somatik.
2)Superego di kesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan IQ yang berkuasa dan terjadi suatu regress.
3)Kehilangan kapasitas untuk pemindahan (“Transference”) sehingga therapy psikoanalitik tidak mungkin.
g.Eugene Bleuler
Bleuler menganggap bahwa gejala-gejala primer merupakan manifestasi penyakit badaniah (yang belum diketahui apa sebenarnya, yang masih merupakan hipotesa), sedangkan gejala-gejala sekunder adalah manifestasi dari usaha penderita ini secara psikologis dapat dimengerti.
(Yumizone, 2009, ¶ 2 dan 3, hhtp://www.wordpress.com, diperoleh tanggal 27 Maret 2011).

3.Gejala-gejala Schizophrenia
Menurut Hawari, Psikiater, gejala schizophrenia dibagi menjadi dua kelompok yaitu :
a.Gejala Negative Schizophrenia
1)Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “datar”
2)Menarik diri atau mengasingkan diri
3)Kontak emosional amat “miskin” sukar diajak bicara, pendiam
4)Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
5)Sulit dalam berpikir abstrak.
6)Tidak ada/ kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif.
b.Gejala positif Schizophrenia
1)Delusi atau waham
2)Halusinasi
3)Kekacauan alam pikiran
4)Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar mandir, agresif, bicara dengan semangat berlebihan.
5)Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu, serba hebat, dan sejenisnya.
6)Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya.
7)Menyimpan rasa permusuhan
(Yasir, 2008, ¶ 5, http://www.blogspot.com, diperoleh tanggal 01 April 2011).

4.Jenis-jenis Schizophrenia
Menurut Kraepelin, Schizophrenia terbagi menjadi beberapa jenis yang digolongkan menurut gejala utama yang terdapat padanya(Maramis, 2005) :
a.Schizophrenia Simplex
Gejala utamanya adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan
b.Schizophrenia Hibrepetik
Gejala utamanya adalah gangguan proses berpikir, kemauan dan adanya depersonalisasi.
c.Schizophrenia Katatonik
Sering di dahului oleh stress emosional, mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
d.Schizophrenia Paranoid
Gejala yang mencolok adalah waham dan halusinasi, namun bila diperiksa dengan teliti terdapat proses berpikir, afek dan kemauan.
e.Schizophrenia Afektif
Disamping terdapat gejala Schizophrenia terdapat menonjol, secara bersamaan gejala depresi atau mania.
f.Episoda Schizophrenia Akut
Gejala Schizophrenia timbul mendadak sekali dan klien dalam keadaan mimpi.
g.Schizophrenia Residual
Schizophrenia dengan gejala-gejala primernya. Tetapi tidak jelas adanya gejala sekunder.

5.Karakteristik Schizophrenia Residual
Ada beberapa karakteristik yang khusus pada Schizophrenia residual, yaitu :
a.Pembicaraan yang kacau.
b.Gangguan afek dan mudah tersinggung.
c.Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan.
d.Mempunyai kelemahan kemauan dan tidak dapat mengambil keputusan serta tidak dapat bertindak.
e.Sikap negatif atau berlawanan terhadap suatu permintaan.
f.Menarik diri dari realitas.
g.Halusinasi yang mengancam klien berbuat sesuatu.
Akibat gejala-gejala yang timbul diatas akan dapat mempengaruhi dalam proses interaksi dengan lingkungan sekitar pada klien gangguan Schizophrenia residual.
(Petra, 2007, ¶ 8, http://www. Jiunkpe pdf.co.id, diperoleh pada tanggal 25 Maret 2011).


B.Konsep Dasar Cemas
1.Definisi Kecemasan
Cemas adalah sebagai emosi tanpa obyek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui, dan didahului oleh pengalaman baru. Sedangkan takut mempunyai sumber yang jelas dan obyeknya dapat didefinisikan. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam dan cemas merupakan respon emosi terhadap penilaian tersebut. Lebih jauh dikatakan pula, kecemasan dapat dikomunikasikan dan menular, hal ini dapat mempengaruhi hubungan terapeutik perawat klien (Stuart and Sundeen, 2001).
Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan tersebut dapat terjadi dalam berbagai situasi kehidupan maupun gangguan sakit. Selain itu kecemasan dapat menimbulkan reaksi tubuh yang akan terjadi secara berulang seperti rasa kosong di perut, sesak nafas, jantung berdebar, keringat banyak, sakit kepala, rasa mau buang air kecil dan buang air besar. Perasaan ini disertai perasaaan ingin bergerak untuk lari menghindari hal yang dicemaskan (Stuart and Sundeen, 2001).
Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik dan aktivitas saraf otonom dalam berespon terhadap ketidakjelasan, ancaman tidak spesifik yang sering ditemukan dan sering kali merupakan suatu emosi yang normal (Carpenito, 2000).
Kecemasan (anxiety) adalah gangguan akan perasan (affective) yang ditandai dengan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkepanjangan. Tidak mengalami gangguan dinilai realitas (realitas testing ability) masih baik, berkepribadian masih tetap utuh, prilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2001).
Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari (Suliswati, 2005).
Cemas adalah keadaan di mana seseorang mengalami perasaan gelisah atau cemas dan aktivitas saraf otonom dalam berespon terhadap ancaman tak jelas, tak spesifik (Carpenito, 2000).
Cemas didefinisikan sebagai suatu energi yang tidak dapat diukur, namun dapat dilihat secara tidak langsung melalui tindakan individu tersebut (Stuart dan Sundeen, 2002).
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu respon dari setiap individu untuk melakukan sebuah koping kearah yang bersifat positif atau menguntungkan individu tersebut.
(Hawari, 2001, ¶ 1, http://www.scribd.com, diperoleh pada tanggal 30 Maret 2011).

2.Macam-Macam Kecemasan
Kartono (2003) membagi kecemasan dalam dua jenis yaitu sebagai berikut:
a.Neurotis
Adalah kecemasan erat dengan mekanisme-mekanisme pelarian diri yang negatif juga banyak disebabkan oleh perasaan bersalah dan berdosa, serta konflik emosional yang serius dan kronis berkesinambungan, frustasi dan tekanan batin.
b.kecemasan Psikotis
Adalah kecemasan karena merasa terancam hidupnya dan kacau balau ditambah kebingungan yang hebat disebabkan oleh depersonalisasi dan disorganisasi psikis.

3.Rentang Respon Kecemasan
Kecemasan berhubungan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kondisi ini dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Tingkat kecemasan sendiri menurut Stuart & Sundeen (2002) adalah sebagai berikut:
a.Cemas Ringan
Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Respon kecemasan yang muncul antara lain: berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Respon kecemasan yang muncul antara lain:
1)Respon fisiologis: Nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan pipi bergetar.
2)Respon kognitif: Lapang persepsi meluas, mampu menerima rangsangan, konsentrasi pada masalah dan menyelesaikan masalah secara selektif.
3)Respon perilaku dan emosi: tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan dan suara kadang-kadang meninggi.
Kriterianya adalah berdebar-debar, tegang, gelisah, banyak bicara dan bertanya, tremor halus pada tangan, tidak dapat duduk tenang dan suara kadang-kadang meninggi.
b.Cemas Sedang
Cemas sedang: lahan persepsi seseorang terhadap lingkungan menurun. Seseorang lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan mengenyampingkan hal lain. Respon kecemasan yang muncul antara lain:
1)Respon Fisiologis: nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, diare / konstipasi dan gelisah.
2)Respon Kognitif: lapang persepsi menyempit, tidak mampu menerima rangsangan dan berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.
3)Respon Perilaku dan Emosi: gerakan tersentak-sentak (meremas tangan), bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan lebih nyaman.
Kriterianya adalah mulut kering, anoreksia, badan bergetar, ekspresi wajah ketakutan, gelisah, tidak mampu rileks, sukar tidur, meremas-remas tangan, banyak bicara dan volume suara meninggi.
c.Cemas Berat
Cemas berat adalah seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan yang terperinci dan tidak dapat berpikir tentang hal yang lain. Respon yang tampak antara lain:
1)Respon Fisiologis: nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat, sakit kepala, penglihatan kabur, tegang, palpitasi, sakit dada / rasa tercekik dan pucat.
2)Respon Kognitif: lapang persepsi sempit
3)Respon Perilaku dan Emosi: perasaan ancaman meningkat, bicara terlalu cepat, marah, ketakutan dan kehilangan kontrol.
Kriterianya adalah nafas pendek, rasa tercekik, sakit kepala, cepat tersinggung, marah, mual, bicara terus dan sukar dimengerti.
d.Panik
Panik adalah Lahan persepsi menjadi sangat sempit. Seseorang cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengenyampingkan hal lain. Seseorang tersebut tidak mampu berpikir keras lagi dan membutuhkan banyak pengarahan. Respon yang tampak antara lain:
1)Respon Fisiologis: nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, sakit kepala, berkeringat, penglihatan kabur, tegang, palpitasi, sakit dada dan motorik rendah.
2)Respon Kognitif: lapang persepsi sangat sempit dan tidak mampu menyelesaikan masalah.
3)Respon Perilaku dan Emosi: perasaan ancaman meningkat, bicara terlalu cepat, blocking, agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali atau kontrol diri dan persepsi kacau.
Kriterianya adalah: nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, sakit kepala, penglihatan kabur, mual dan muntah, menyalahkan oranng lain, cepat tersinggung, perilaku diluar kesadaran dan sukar tidur.
(Raudha, 2009, ¶ 2 dan 4, http://www.raudhatunnaim.com, diperoleh pada tanggal 30 April 2011).

4.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respon Kecemasan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tentang kecemasan diantaranya sebagai berikut :
a.Faktor predisposisi
Menurut Stuart and Sundeen (2002), teori yang dikembangkan untuk menjelaskan penyebab kecemasan adalah :
1)Teori Psikoanalitik
Menurut Freud struktur kepribadian terdiri dari 3 elemen yaitu id, ego, dan super ego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif, super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma- norma budaya seseorang, sedangkan ego digambarkan sebagai mediator antara tuntutan dari id dan super ego. Ansietas merupakan konflik emosional antara id dan super ego yang berfungsi untuk memperingatkan ego tentang sesuatu bahaya yang perlu diatasi.
2)Teori Interpersonal
Kecemasan terjadi dari ketakutan akan pola penolakan interpersonal. Hal ini juga dihubungkan dengan trauma pada masa perkembangan atau pertumbuhan seperti kehilangan, perpisahan yang menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya. Individu yang mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudah untuk mengalami kecemasan berat (Stuart&Sundeen, 2002).
3)Teori Prilaku
Kecemasan merupakan hasil frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Para ahli perilaku menganggap ansietas merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan untuk menghindarkan rasa sakit. Teori ini meyakini bahwa manusia yang pada awal kehidupannya dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan akan menunjukkan kemungkinan ansietas yang berat pada kehidupan masa dewasanya (Smeltzer&Bare, 2001).
4)Teori Keluarga
Intensitas cemas yang dialami oleh individu kemungkinan memiliki dasar genetik. Orang tua yang memiliki gangguan cemas tampaknya memiliki resiko tinggi untuk memiliki anak dengan gangguan cemas. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan hal yang bisa ditemui dalam suatu keluarga.

b.Faktor Presipitasi
Kecemasan adalah keadaan yang tidak dapat dihindarkan atau juga diletakkan didalam memelihara keseimbangan kehidupan manusia. Pengalaman kecemasan seseorang tidak sama pada beberapa situasi.
Ada beberapa faktor yang dapat menjadi faktor presipitasi yang dapat menimbulkan kecemasan antara lain faktor internal (Stuart & Sundeen, 2002) :
a.Faktor Internal
1)Potensi Stressor
Stressor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi (Smeltzer&Bare, 2001).
2)Maturitas
Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu yang matur mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan (Hambly, 2005).
3)Pendidikan Dan Status Ekonomi
Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru (Stuart&Sundeen, 2002).
4)Keadaan Fisik
Seseorang yang akan mengalami gangguan fisik seperti cidera, operasi akan mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebih mudah mengalami kecemasan, di samping itu orang yang mengalami kelelahan fisik mudah mengalami kecemasan (Oswari, 2002).
5)Tipe Kepribadian
Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada orang dengan kepribadian B. Adapun ciri- ciri orang dengan kepribadian A adalah tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa diburu waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang, mudah tersinggung, otot- otot mudah tegang. Sedang orang dengan tipe kepribadian B mempunyai ciri- ciri berlawanan dengan tipe kepribadian A. Karena tipe keribadian B adalah orang yang penyabar, teliti, dan rutinitas (Stuart&Sundeen, 2002).
6)Lingkungan Dan Situasi
Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih mudah mengalami kecemasan dibanding bila dia berada di lingkungan yang biasa dia tempati (Hambly, 2005).
7)Umur
Seseorang yang mempunyai umur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada seseorang yang lebih tua, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.
8)Jenis Kelamin
Gangguan panik merupakan suatu gangguan cemas yang ditandai oleh kecemasan yang spontan dan episodik. Gangguan ini lebih sering dialami oleh wanita daripada pria.
(Syam, 2010, ¶ 6, http://www.blogspot.com, diperoleh pada tanggal 01 April 2011).

5.Karakteristik Cemas
Menurut Hawari (2001) untuk mengetahui sejauhmana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau panik, maka digunakan alat ukur yang dikenal dengan Hamilton Ansiety Rating Scale (HARS).
Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0 – 4, yang artinya adalah :
PNilai 0 = Tidak Ada Gejala (Keluhan)
1.= Gejala Ringan
2.= Gejala Sedang
3.= Gejala Berat
4.= Gejala Berat Sekali
Penilaian atau pemakaian alat ukur ini dilakukan oleh dokter (psikiater) atau orang yang telah dilatih untuk menggunakannya melalui teknik wawancara langsung. Masing-masing nilai angka (score) dari 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu :
Total Nilai (score) : Kurang dari 14 = Tidak Ada kecemasan
14 – 20 = Kecemasan Ringan
21 – 27 = Kecemasan Sedang
28 – 41 = kecemasan Berat
42 – 56 = kecemasan Berat Sekali
Adapun hal-hal yang dinilai dengan alat ukur skala HARS ini adalah gejala yang meliputi (Hawari, 2001) :
Gejala Kecemasan Nilai Angka (Score)

A.Perasaan Cemas 01234
 Cemas
 Pirasat buruk
 Takut akan pikiran sendiri
 Mudah tersinggung
B.Ketegangan 01234
 Merasa tegang
 Lesu
 Tidak bisa istirahat
 Mudah terkejut
 Mudah menangis
 Gemetar
 Gelisah
C.Ketakutan 01234
 Pada gelap
 Pada orang asing
 Ditinggal sendiri
 Pada binatang besar
 Pada keramaian lalu lintas
 Kerumunan orang banyak
D.Gangguan Tidur 01234
 Sukar tidur
 Terbangun dimalam hari
 Tidur tidak nyenyak
 Bangun dengan lesu
 Mimpi buruk
 Mimpi menakutkan
E.Gangguan Kecerdasan 01234
 Sukar konsentrasi
 Daya ingat buruk
 Daya ingat menurun
F.Perasaan Depresi atau Murung 01234
 Hilangnya minat
 Berkurang kesenangan pada hobi
 Sedih
 Bangun dini hari
 Perasaan sering berubah – ubah sepanjang hari
G.Gejala Somatik (Otot) 01234
 Sakit dan nyeri otot
 Kaku
 Gigi gemerutuk
 Suara tidak stabil
H.Gejala Sensorik 01234
 Telinga berdengung
 Penglihatan kabur
 Muka merah atau pucat
 Merasa lemas
 Perasaan ditusuk – tusuk
I.Gejala Kardivaskuler 01234
 Takikardi (denyut jantung cepat)
 Jantung berdebar-debar
 Nyeri dada
 Denyut nadi mengeras
 Rasa lesu dan lemas seperti mau pingsan
 Detak jantung menghilang atau behenti sekejap
J.Gejala Pernafasan 01234
 Rasa tertekan atau sempit di dada
 Rasa tercekik
 Sering menarik nafas
 Nafas pendek atau sesak
K.Gejala Gestrointestinal 01234
 Sulit menelan
 Perut melilit
 Gangguan pencernaan
 Nyeri sebelum dan sesudah makan
 Perasaan terbakar diperut
 Rasa penuh atau kembung
 Mual
 Muntah
 Buang air besar lembek
 Sukar buang air besar
 Kehilangan berat badan
L.Gejala Urogenital dan Kelamin 01234
 Sering buang air kecil
 Tidak dapat menahan air seni
 Tidak datang bulan atau haid
 Darah haid berlebihan
 Masa haid berkepanjangan
 Masa haid amat pendek
 Haid beberapa kali dalam sebulan
 Menjadi dingin (Frigid)
 Ejakulasi dini
 Ereksi melemah
 Ereksi hilang
 Impotensi
M.Gejala Autonom 01234
 Mulut kering
 Muka merah
 Muka berkeringat
 Kepala pusing
 Kepala terasa berat
 Kepala terasa sakit
 Bulu-bulu berdiri
Jumlah Nilai Angka (Total Score) =

C.Konsep Keluarga
1.Definisi Keluarga
Menurut Departemen Kesehatan RI (2005) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan yang saling ketergantungan.
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena hubungan darah, perkawinan atau pengangkatan dan hidup dalam rumah tangga dan berinteraksi satu sama lain dan dalam perannya menciptakan dan mempertahankan kebudayaan(Bailon dan Maglaya, 2006).
Menurut UU No. 10 tahun 1992 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih secara bersama karena suatu ikatan lahir dan emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga(Friedman, 2008).
Keluarga dapat dikatakan harmonis jika para anggota didalamnya bisa berhubungan secara serasi dan seimbang, saling memuaskan kebutuhan anggota lainnya serta memperoleh kepuasan atas segala kebutuhannya.

2.Struktur Keluarga
Menurut Efendi, (2003) Struktur keluarga terdiri dari bermacam-macam :
a.Patrilineal adalah keluarga yang sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui garis ayah.
b.Matrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara beberapa generasi yang disusun melalui garis ibu.
c.Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal dengan keluarga istri.
d.Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal dengan keluarga suami.
e.Kawinan adalah hubungan suami istri sebagai dasar dari pembinaan keluarga dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami atau istri.

3.Type Atau Bentuk Keluarga
Menurut Efendi, (2003) type atau bentuk keluarga yaitu:
a.Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.
b.Keluarga besar adalah keluarga inti ditambah sanak saudara.
c.Keluarga berantai adalah keluarga yang terdiri-dari suami atau istri yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan keluarga inti.
d. Singgle family adalah keluarga yang terjadi karena perceraian atau kematian.
e.Keluarga berkomposisi adalah keluarga dengan perkawinan berpoligami yang hidup secara bersama-sama.
f.Keluarga kabitas adalah dua orang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk satu keluarga.

4.Peran Keluarga
Suatu perilaku yang bersifat homogen yang diharapkan secara normatif oleh seorang ocupan (Seseorang yang memegang suatu posisi dalam struktur sosial) dalam situasi sosial tertentu. Posisi atau status sosial didefinisikan sebagai tempat seseorang dalam sistem sosial. Dalam pelaksanaan peran berkenaan dengan siapa pemegang kekuasaan keluarga (Friedman, 2008).
Peran dalam keluarga memberikan tujuan homeostasis, homeostasis ini mengacu pada pemanfaatan mekanisme regulator oleh keluarga untuk mengatur keseimbangan dalam keluarga (Friedman, 2008). Turner menyatakan jika keluarga tidak menyatakan atau melaksanakan peranya maka keluarga akan menjadi ketergantungan terhadap keberadaan peran-peran diluar keluarga (Misalkan petugas kesehatan).
(Kolomayah, 2005, ¶ 1 dan 5, http://www.kolomayah.com, diperoleh pada tanggal 28 Maret 2011).

5.Peran Keluarga Dalam Kesehatan
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai peran dan tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan yang meliputi :
a.Mengenal Masalah Kesehatan
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak berarti dan karena kesehatanlah seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua perlu mengenal keadaan sehat dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarganya. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung akan menjadi perhatian dari orang tua atau pengambil keputusan dalam keluarga (Suprajitno, 2004).
Menurut Notoadmojo, 2005 diartikan sebagai pengingat sesuatu yang sudah dipelajari atau diketahui sebelumnya. Sesuatu tersebut adalah sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Dalam mengenal masalah kesehatan keluarga haruslah mampu mengetahui tentang sakit yang dialami pasien.
b.Memutuskan Tindakan Yang Tepat Bagi Keluarga
Peran ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai keputusan untuk memutuskan tindakan yang tepat (Suprajitno, 2004). Friedman, 2008 menyatakan kontak keluarga dengan sistem akan melibatkan lembaga kesehatan profesional ataupun praktisi lokal (Dukun) dan sangat bergantung pada:
1)Apakah masalah dirasakan oleh keluarga ?
2) Apakah kepala keluarga merasa menyerah terhadap masalah yang dihadapi salah satu anggota keluarga ?
3)Apakah kepala keluarga takut akibat dari terapi yang dilakukan terhadap salah satu anggota keluarganya ?
4) Apakah kepala keluarga percaya terhadap petugas kesehatan?
5) Apakah keluarga mempunyai kemampuan untuk menjangkau fasilitas kesehatan?
c.Memberikan Perawatan Terhadap Keluarga Yang Sakit
Beberapa keluarga akan membebaskan orang yang sakit dari peran atau tangung jawabnya secara penuh, Pemberian perawatan secara fisik merupakan beban paling berat yang dirasakan keluarga (Friedman, 2008). Suprajitno menyatakan bahwa keluarga memiliki keterbatasan dalam mengatasi masalah perawatan keluarga. Dirumah keluarga memiliki kemampuan dalam melakukan pertolongan pertama. Untuk mengetahui dapat dikaji :
1)Apakah keluarga aktif dalam ikut merawat pasien?
2)Bagaimana keluarga mencari pertolongan dan mengerti tentang perawatan yang diperlukan pasien ?
3)Bagaimana sikap keluarga terhadap pasien? (Aktif mencari informasi tentang perawatan terhadap pasien)
(Irwan, 2007, ¶ 8,http://www.irwanashari.com, diperoleh pada tanggal 28 Maret 2011.)


BAB III
KERANGKA KONSEP DAN METODOLOGI PENELITIAN

A.Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal yang khusus. Oleh karena itu konsep merupakan abstraksi, maka konsep tidak langsung diamati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati melalui konstruk atau yang lebih dikenal dengan nama variable. Jadi variable adalah symbol atau lambang yang menunjukan nilai atau bilangan dari konsep (Notoatmodjo, 2010).

B.Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2008).

Apapun tingkat kecemasan sendiri menurut Stuart & Sundeen (1998) adalah sebagai berikut:
a.Cemas Ringan
b.Cemas Sedang
c.Cemas Berat
d.Cemas Berat Sekali (Panik)
Untuk klasifikasi tingkat kecemasan ini bisa dilihat dari karakteristik cemas dibawah ini :
a.Perasaan Cemas
b.Ketegangan
c.Ketakutan
d.Gangguan Tidur
e.Gejala Kardivaskuler
f.Gejala Pernafasan
g.Gejala Gestrointestinal
h.Gejala Urogenital dan Kelamin.

Kuesioner
14 – 20 = Ringan
21 – 27 = Sedang
28 – 41= Berat
42 – 56= Berat Sekali (Hawari 2001)

C.Metode Penelitian
Metode adalah rangkaian cara dan langkah yang tertib dan terpola untuk menegaskan bidang keilmuan, sering kali disebut metode ilmiah (Nursalam, 2008). Metode penelitian adalah usaha untuk menjawab permasalahan, membuat suatu yang masuk akan, memahami peraturan dan memprediksi keadaan dimasa yang akan datang (Nursalam, 2008).
1.Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif (Notoatmodjo, 2003).
2.Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu misalnya, umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, pengetahuan, pendapatan, penyakit, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
Adapun variabel dalam penelitian ini adalah : Tingkat Kecemasan Keluarga Yang Memiliki Anggota Keluarga Dengan Skizofrenia Residual.

D.Populasi dan Sampel Penelitian
1.Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti (Arikunto, 2006). Pada penelitian ini populasinya adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual. Keluarga pasien yang datang ke Poli Jiwa Rumah Sakit Umum Kelas B Kabupaten Subang, dimana selama 6 bulan (September 2010 sampai dengan Februari 2011) dengan jumlah 156 keluarga responden. Rata – rata kunjungan setiap bulannya adalah 26 orang, adapun populasi bulan april yaitu 26 orang.
2.Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005).
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan total sampling artinya semua populasi dijadikan sebagai sampel yaitu seluruh anggota keluarga klien yang menggalami skizofrenia residual diPoliklinik Jiwa RSUD Subang.

E.Pengumpulan Data
1.Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui kuisioner. Kuisioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden (Arikunto, 2006).
Kuisioner yang akan digunakan yaitu untuk mengukur tingkat pengetahuan keluarga yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan, responden diminta untuk memberikan respon dengan cara menceklis pertanyaan yang dianggap benar/sesuai. Instrumen yang digunakan peneliti merupakan
Self Administratif/questionnire dimana responden mengisi kuisioner sendiri, sebelum angket digunakan responden diberikan kesempatan untuk bertanya, mengatakan kesediaannya dalam berpartisipasi. Bila responden telah bersedia, maka responden diminta untuk mengisi surat persetujuan (Informed consent), dan selanjutnya responden diminta untuk mengisi kuisioner dengan memilih alternatif jawaban dari setiap pertanyaan. Untuk memudahkan proses pengisian kuisioner peneliti mendampingi dan membantu proses pengisian kuisioner seperti membacakan atau mencatatkan hasil pilihan klien.
2.Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat–alat yang digunakan untuk pengumpulan data sumber (penderita). Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner yang berisi daftar pertanyaan. Dalam penelitian ini peneliti membuat instrument penelitian berupa kuesioner tentang kecemasan keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual di Poliklinik Jiwa RSUD Kelas B Kabupaten Subang yaitu : Ya dan Tidak. Instrumen yang digunakan peneliti merupakan self administrated Questionnaire, dimana responden diberikan kesempatan untuk bertanya serta mengatakan kesediannya dalam berpartisipasi. Bila responden telah bersedia, maka responden diminta untuk mengisi surat persetujuan (informed consent) dan selanjutnya responden diminta untuk mengisi kuesioner dengan memilih alternatif jawaban dan setiap pertanyaan. Untuk memudahkan proses pengisian kuesioner peneliti mendampingi dan membantu proses pengisian kuesioner seperti membacakan atau mencatatkan hasil klien.

F.Pengolahan Data
Teknik analisa data ini menggunakan beberapa tahapan sebagai berikut :
1.Pengeditan (editing)
Proses editing dilakukan setelah data terkumpul dan dilakukan dengan memeriksa kelengkapan data, memeriksa kesinambungan data, dan keseragaman data.
2.Pengkodean (Coding)
Dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data, semua jawaban atau data perlu disederhanakan yaitu dengan simbol-simbol tertentu, untuk setiap jawaban (pengkodean).
Yang dipergunakan untuk pengkodean ini yaitu pada kalimat yang bersifat positif (+) dengan rincian sebagai berikut :
Jawaban Ya = Nilai 1
Tidak = Nilai 0
3.Pemprosesan ( processing)
Penelitian melakukan proses data agar dapat di analisis dengan cara memasukan data hasil kuesioner ke dalam kolom-kolom yang telah disediakan terlebih dahulu dan dihitung hasilnya secara manual.
4.Pembersihan (cleaning)
Selanjutnya peneliti melakukan pembersihan data dengan mengecek kembali data yang sudah di hitung kemudian di masukan ke dalam komputer.
5.Tabulating Data
Setelah selesai pembuatan kode selanjutnya dengan pengolahan data kedalam satu tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki yang mana sesuai dengan tujuan penelitian.

G.Analisis Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah univariat yaitu analisa data yang mendeskripsikan atau menggambarkan data tersebut.
Adapun penentuan kategori penelitian menurut Hawari (2001) sesuai total nilai (score) menurut HARS sebagai berikut :
1.Kurang dari 14 = Tidak Ada kecemasan
2.14 – 20 = Kecemasan Ringan
3.21 – 27 = Kecemasan Sedang
4.28 – 41 = Kecemasan Berat
5.42 – 56 = Kecemasan Berat Sekali

H.Etika Penelitian
Penelitian memberikan hak-hak responden dengan cara menjamin kerahasian identitas responden, sebelumnya peneliti memberikan penjelasan tujuan dan manfaat penelitian serta memberikan hak untuk menolak di jadikan responden penelitian.
Untuk mencegah timbunya masalah, dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1.Inform concent yang berarti sebelum melakukan penelitian, peneliti memberikan penerangan dan penjelasan kepada reponden tentang penelitian, jika responden setuju maka diminta untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti .
2.Anonymity yang berarti bahwa kuesioner diisi oleh responden tanpa memberikan data diri secara khusus (tidak mencantumkan nama responden.
3.Privacy yang berarti bahwa identitas responden tidak akan di ketahui oleh orang lain dan bahkan mungkin oleh peneliti itu sendiri sehingga responden dapat secara bebas untuk menentukan jawaban dari kuesioner.
4.Bebas dari bahaya dimana peneliti ini tidak akan berdampak secara langsung terhadap responden.

I.Lokasi dan waktu penelitian
1.Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Jiwa RSUD Kabupaten Subang Kelas B.
2.Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 14 Juni sampai 10 Juli 2011


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian
1.Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang dilaksanakan di poliklinik psikiatri RSUD Subang pada tanggal 14 juni – 10 juli 2011 dapat dilihat dari tabel berikut :

Distribusi 26 Responden Berdasarkan Tingkat Usia
No Usia Tingkat Kecemasan Jumlah Persentasi
Ringan Sedang Berat
1. 12-19 tahun (Remaja) 3 0 1 4 15,4%


2. 20 – 30 Tahun(Dewasa Muda) 7 12 3 22 84,6%

Jumlah 10 12 4 26 100%

Berdasarkan tabel diatas responden dengan Kelompok Umur 20 – 30 tahun (Dewasa Muda) menunjukan presentasi yaitu 84,6% responden, diantaranya dengan tingkat kecemasan Ringan 7 orang (27%), tingkat kecemasan Sedang 12 orang (46,2%) dan tingkat kecemasan Berat 3 orang (11,5%). Sedangkan Kelompok Umur 12 – 19 tahun (Remaja) menunjukan 15,4% responden, diantaranya dengan tingkat kecemasan Ringan 3 orang (11,5%), tingkat kecemasan Sedang tidak ada dan tingkat kecemasan Berat 1 orang (3,8%). Dengan demikian Responden dengan Kelompok Umur 20 – 30 tahun (Dewasa Muda) menunjukan presentasi yang cukup tinggi yaitu 22 orang (84,6%) dengan kategori tingkat kecemasan yang terbanyak adalah Kecemasan Sedang dengan jumlah 12 responden

Distribusi 26 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Tingkat Kecemasan Jumlah Persentasi(&)
Ringan Sedang Berat
1. Laki – Laki 5 4 0 9 34,6%
2. Perempuan 5 8 4 17 65,4%

Jumlah 10 12 4 26 100%

Berdasarakan tabel diatas menunjukan bahwa Responden jenis kelamin laki – laki yang memiliki tingkat kecemasan Ringan 5 orang (19,2%), tingkat kecemasan Sedang 4 orang (15,4%) dan tingkat kecemasan Berat tidak ada. Sedangkan jenis kelamin perempuan yang memiliki tingkat kecemasan Ringan 5 orang (19,2%), tingkat kecemasan Sedang 8 orang (30,8%) dan tingkat kecemasan Berat 4 orang (15,4%). Dengan demikian yang berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah jenis kelamin Perempuan sebanyak 17 orang ataupun bila di persentasikan sekitar 57,7% dengan kategori tingkat kecemasan yang terbanyak adalah Kecemasan Sedang dengan jumlah 12 responden.

Distribusi 26 Responden Berdasarkan Pendidikan
No Pendidikan Tingkat Kecemasan Jumlah Persentasi(%)
Ringan Sedang Berat
1. SD 5 8 2 15 61,5%
2. SMP 0 2 2 4 11,5%
3. SMA 0 5 0 5 19,2%
4. Perguruan Tinggi 2 0 0 2 7,7%

Jumlah 7 15 4 26 100%

Berdasarkan tabel diatas menunjukan 61,5% pendidikan responden adalah Sekolah Dasar dengan tingkat kecemasan Ringan 5 orang (19,2%), tingkat kecemasan Sedang 8 orang (30,8%) dan tingkat kecemasan Berat 2 orang (7,7%). Dari Sekolah Menengah Pertama 11,5% dengan tingkat kecemasan Ringan tidak ada, dengan tingkat kecemasan Sedang 2 orang (7,7%) dan tingkat kecemasan Berat 2 orang (7,7%). Dari Sekolah Menengah Atas 19,2% dengan tingkat kecemasan Ringan dan Berat tidak ada, sedangkan tingkat kecemasan Sedang 5 orang (19,2%). Responden yang lulusan Perguruan Tinggi sebanyak 7,7% dengan tingkat kecemasan Ringan 2 orang (7,7%), sedangkan untuk tingkat kecemasan Sedang dan Berat Tidak ada. Maka, dengan kategori tingkat kecemasan yang terbanyak adalah Kecemasan Sedang dengan jumlah 15 responden (57,7%).

Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan
No Tingkat Kecemasan Frekuensi Persentase (%)
1. Ringan 10 38,5%
2. Sedang 12 46,2%
3. Berat 4 15,3%

Jumlah 26 100%

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwasanya Frekuensi Tingkat Kecemasan terbanyak adalah Kecemasan Sedang yaitu dengan jumlah responden 12 atau 46,2%.

B.Pembahasan
1.Karekteristik Responden
a.Berdasarkan Usia
Berdasarkan tingkat usia didapatkan bahwa responden dengan kelompok usia < 20 tahun yaitu sebanyak 3 orang (11,5%) yang memiliki tingkat kecemasan Ringan, tidak ada responden yang memiliki tingkat kecemasan Sedang dan responden yang mempunyai tingkat kecemasan Berat yaitu 1 orang (3,8%), sedangkan dengan kelompok usia > 21 tahun yaitu yang mempunyai tingkat kecemasan Ringan sebanyak 7 orang (27%), adapun yang mempunyai tingkat kecemasan Sedang yaitu 12 orang (46,2%) dan yang mempunyai tingkat kecemasan Berat yaitu ada 3 orang (11,5%).
Namun dengan faktor usia lanjut dilapangan peneliti justru menemukan fakta tidak selamanya responden dengan tingkat usia yang lebih muda merasakan cemas yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

b.Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa laki – laki yang memiliki Tingkat Kecemasan Ringan yaitu 5 orang (19,2%), sedangkan laki – laki yang memiliki Tingkat Kecemasan Sedang yaitu 4 orang (15,4%) dan laki – laki yang memiliki Tingkat Kecemasan Berat yaitu 2 orang (7,7%). Adapun untuk jenis Kelamin Perempuan yang memiliki Tingkat Kecemasan Ringan yaitu 5 orang (19,2%), sedangkan Perempuan yang memiliki Tingkat kecemasan Sedang yaitu 8 orang (30,8%) dan Perempuan yang memiliki Tingkat Kecemasan Berat yaitu 2 orang (7,7%).
Menurut Stuart & Sunden, bahwa gangguan panik merupakan suatu gangguan cemas yang ditandai oleh kecemasan yang spontan dan gangguan ini lebih sering dialami oleh wanita dari pada pria, karena sesuai dengan kenyataan bahwa suasana hati (Mood) nya perempuan lebih sensitif dari pada laki – laki selain itu juga perempuan tercipta dari tulang rusuk laki – laki.

c.Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan bahwasanya responden yang pendidikannya Sekolah Dasar (SD) sebanyak 15 orang (57,7%) dengan kategori Ringan yaitu 8 orang (30,8%), kategori Sedang yaitu 5 orang (15,2%) dan kategori Berat yaitu 2 orang (7,7%). Responden yang pendidikannya Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan kategori Ringan tidak ada,sedangkan dengan kategori Sedang yaitu 2 orang (7,7%) dan dengan kategori Berat yaitu 2 orang (7,7%). Responden yang pendidikannya Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan kategori tingkat kecemasan Ringan dan berat tidak ada, sedangkan dengan kategori Sedang yaitu 5 orang (19,2%). Responden yang pendidikannya Perguruan Tinggi dengan kategori Ringan yaitu 2 orang (7,7%) sedangkan dengan kategori Sedang dan Berat tidak ada. Secara umum responden memiliki tingkat pendidikan yang cukup, hal ini bisa dijadikan sebagai modal (faktor pendukung) untuk membantu pasien yang mengalami gangguan jiwa tentang masalah kesehatanya. Persentasi responden dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar lebih besar yaitu 57,7% dan SMA 19,2% bila dibandingkan dengan Perguruan Tinggi yang hanya mencapai 7,7%.
Menurut Stuart&Sundeen, 2002, tingkat pendidikan akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru.



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.Responden dengan kategori tingkat kecemasan yang terbanyak adalah kecemasan sedang dengan jumlah 12 responden (46,2%) yaitu kelompok umur 20 – 30 tahun (Dewasa Muda).
2.Responden dengan kategori tingkat kecemasan sedang dengan jumlah 12 responden (46,2%) adalah jenis kelamin perempuan yaitu 17 orang (65,4%),.
3.Responden dengan kategori tingkat kecemasan terbanyak adalah kecemasan sedang dengan jumlah 15 responden (57,7%) yang berpendidikan sekolah dasar (SD).
Dari beberapa kesimpulan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa rata – rata responden dengan kelompok umur >21 tahun, dan jenis kelamin perempuan serta berpendidikan sekolah dasar (SD) mayoritas mengalami kecemasan sedang yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual.

B.Saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan diatas, maka peneliti memberikan saran kepada :
1.Bagi Institusi Pendidikan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan dibagian keperawatan jiwa dan sebagai sumber bacaan dimasa yang akan datang.
2.Institusi Pelayanan Kesehatan.
Sebagai masukan bagi perawat pelaksana Unit Pelayanan Keperawatan Jiwa di poliklinik jiwa RSUD Subang dalam rangka mengambil kebijakan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya pada klien yang mengalami Skizofrenia Residual.
3.Bagi Keluarga.
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi keluarga tentang kecemasan dengan gangguan jiwa (khususnya mengenai gambaran tentang kecemasan keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia residual).


Rabu, 13 Juli 2011

DEFINISI SINDROM DOWN
Sindrom down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.
[sunting] Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.
[sunting] Pemeriksaan diagnostik
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain:
Pemeriksaan fisik penderita
Pemeriksaan kromosom
Ultrasonografi (USG)
Ekokardiogram (ECG)
Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)
[sunting] Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.
Aktivitas motorik Umur rata-rata Kisaran umur
Tengkurap , mengangkat leher 1 bulan 0 - 3 bulan
Mampu mengangkat kepala 2 bulan 1 - 4 bulan
Berguling dari telntang telungkup 4 bulan 3 - 6 bulan
Kembli telntang setlah telungkup 5 bulan 4 - 7 bulan
Duduk dibantu (didudukkan) 5 bulan 4 - 7 bulan
Duduk sendiri 6 bulan 5 - 9 bulan
Merangkak pada perut 7 bulan 5 - 10 bulan
Mrangkak dengan tangan dan kaki 8 bulan 6 - 11 bulan
Mampu berdiri dengan bantuan 9 bulan 6 - 12 bulan
Titah (berjalan dengan dipandu) 11 bulan 9 - 14 bulan
Berjalan (sendiri) 12 bulan 9 - 17 bulan
Lari 15 bulan 13 - 20 bulan
Melompat (pada dua kaki) 24 bulan 17 - 34 bulan
Menendang bola 24 bulan 18 - 30 bulan
Naik tangga 30 bulan 28 - 36 bulan
Naik sepeda roda tiga 36 bulan 30 - 48 bulan
B. ETIOLOGI
Sindrom Down banyak dilahirkan oleh ibu berumur tua (resiko tinggi), ibu-ibu di atas 35 tahun harus waspada akan kemungkinan ini. Angka kejadian Sindrom Down meningkat jelas pada wanita yang melahirkan anak setelah berusia 35 tahun ke atas. Sel telur wanita telah dibentuk pada saat wanita tersebut masih dalam kandungan yang akan dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut akil balik. 2
Pada saat wanita menjadi tua, kondisi sel telur tersebut kadang-kadang menjadi kurang baik dan pada waktu dibuahi oleh sel telur laki-laki, sel benih ini mengalami pembelahan yang kurang sempurna. Penyebab timbulnya kelebihan kromosom 21 bisa pula karena bawaan lahir dari ibu atau bapak yang mempunyai dua buah kromosom 21, tetapi terletak tidak pada tempat yang sebenarnya, misalnya salah satu kromosom 21 tersebut menempel pada kromosom lain sehingga pada waktu pembelahan sel kromosom 21 tersebut tidak membelah dengan sempurna. 4
Faktor yang memegang peranan dalam terjadinya kelainan kromosom adalah:
1. Umur ibu : biasanya pada ibu berumur lebih dari 30 tahun, mungkin karena suatu ketidak seimbangan hormonal. Umur ayah tidak berpengaruh
2. Kelainan kehamilan
3. kelainan endokrin pada ibu : pada usia tua daopat terjadi infertilitas relative, kelainan tiroid. 2

C. PATOFISIOLOGI
Semua individu dengan sindrom down memiliki tiga salinan kromosom 21. sekitar 95% memiliki salinan kromosom 21 saja. Sekitar 1 % individu bersifat mosaic dengan beberapa sel normal. Sekitar 4 % penderita sindrom dowm mengalami translokasi pada kromosom 21. Kebanyakan translokasi yang mengakibatkan sindrom down merupakan gabungan pada sentromer antara kromosom 13, 14, 15. jika suatu translokasi berhasil diidentifikasi, pemeriksaan pada orang tua harus dilakukan untuk mengidentifikasi individu normal dengan resiko tinggi mendapatkan anak abnormal. 1

D. GEJALA KLINIS
Gejala yang biasanya merupakan keluhan utama dari orang tua adalah retardasi mental atau keterbelakangan mental (disebut juga tunagrahita), dengan IQ antara 50-70, tetapi kadang-kadang IQ bias sampai 90 terutama pada kasus-kasus yang diberi latihan. Pada bayi baru ahir, dokter akan menduga adanya Sindrom Down karena gambaran wajah yang khas, tubuhnya yang sangat lentur, biasanya otot-ototnya sangat lemas, sehingga menghambat perkembangan gerak bayi. Pada saat masih bayi tersebut sulit bagi seorang dokter untuk menentukan diagnosisnya, apalagi orang tuanya juga mempunyai mata yang sipit atau kecil. Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan kromosom dari sel darah putih.4
KOMPLIKASI
Kelainan bisa menyebabkan penderitanya mengalami kelainan fisik seperti kelainan jantung bawaan, otot-otot melemah (hypotonia), dan retardasi mental akibat hambatan perkembangan kecerdasan dan psikomotor. 7
J. PENCEGAHAN
Deteksi dini sindrom Down dilakukan pada usia janin mulai 11 minggu (2,5 bulan) sampai 14 minggu. Dengan demikian, orangtua akan diberi kesempatan memutuskan segala hal terhadap janinnya. Jika memang kehamilan ingin diteruskan, orangtua setidaknya sudah siap secara mental. 3
Para ibu dianjurkan untuk tidak hamil setelah usia 35 tahun. Memang ini merupakan suatu problem tersendiri dengan majunya zaman yang wanita cenderung mengutamakan karier sehingga menunda perkawinan dan atau kehamilan. Sangatlah bijaksana bila informasi ini disampaikan bersama-sama oleh petugas keluarga berencana.4
ASFIKSIA RINGAN

PENGERTIAN
Asfiksia neonatorum adalah bayi baru lahir tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini biasanya disertai dengan keadaan Hipoksia serta sering berakhir dengan asidosis. Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tak dilakukan secara sempurna sehingga tindakan perawatan dilaksanakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut yang mungkin timbul. (Wiknjosastro, 1999).


B. ETIOLOGI
Pengembangan Paru BBL pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, maka akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Towel (1996) mengajukan Penggolongan Penyebab Kegagalan Pernapasan Pada bayi yang terdiri dari :
a. Faktor Ibu
1. Hipoksia Ibu, hal ini akan menimbulkan hipoksia janin, hipoksia ibu dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anastesi dalam

2. Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya penga,liran O2 ke plasenta dan kejanin. Hal ini sering ditemukan pada kasus-kasus.
a) Gangguan kontrasi uterus, misalnya : Hipertensi, Hipotoni / uterus akibat penyakit atau obat
b) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan
c) Hipertensi pada penyakit eklamsia.

b. Faktor Plasenta
Solusi plasenta. Perdarahan plasenta, dan lain-lain
c. Fator Fetus
Tali pusat menumbung lilitan tali pusat, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
d. Faktor Neonatus
1. Pemakaian obat anastesi / analgetika yang berlebihan pada itu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan janin.
2. Trauma yang terjadi pada persalinan. Misalnya : Perdarahan Intra Cranial
3. Kelainan Kongenital. Misalnya : Hernia diafragmatika atresia saluran pernapasan hipoplasia paru dan lain-lain. (Wiknjosastro, 1999).


C. PERUBAHAN PATOFISIOLOGI DAN GANGGUAN KLINIS
Pernapasan Spontan BBL tergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan Pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan / persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode opnu (Primary Apnoe) disertai dengan penurunan frekuensi diikuti oleh pernapasan teratur. Pada penerita asfiksia berat. Usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnue kedua. Pada tingkat ini terjadi bradikardi dan penurunan TD.

Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-asam pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya menimbulkan asidosis respiraktonik. Bila gangguan berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme an acrobic yang berupa glikolisis gukogen tubuh. Sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardio vaskuler yang disebabakan oleh beberapa keadaan diantarannya :

a. Hilangnya Sumber Glukogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung
b. Terjadi asidosis metabolis akan menimbulkan kelemahan otot jantung
c. Pengisian udara alucolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap tingginya Resistensi Pembuluh darah Paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan demikian pula kesistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan. (Rustam, 1998)


Pada keadaan asfiksia yang perlu mendapat perhatian sebaiknya :
a. Menurunnya tekanan O2 darah (Pa O2)
b. Meningginya tekanan O2 darah (Pa O2)
c. Menurunya PH (akibat osidosis respirantorik dan metabolik)
d. Dipakainya sumber glukogen tubuh untuk metabolisme an-aerobic
e. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskuler
TINDAKAN PADA ASFIKSIA NEONATORUM
Tindakan yang dikerjakan pada lazim disebut resusitasi BBL sebelum resusitasi dikerjakan perlu diperhatikan bahwa :
a. Faktor waktu sangat penting
b. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia / hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki tetapi kerusakan yang akan terjadi karena anoksia / hipoksia pascanatal harus dicegah dan diatasi.
c. Riwayat kehamilan dan partus akan memberikan keterangan yang jelas tentang fakta penyebab terjadinya depresi pernapasan pada BBL
d. Penilaian BBL perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan ditentukan secara adekuat (Prawiroharjo, 2002).


E. PRINSIP DASAR RESUSITASI YANG PERLU DIINGAT IALAH :
a. Memberi lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernapasan tetes bebas serta merangsang timbulnya pernapasan
b. Memberi bantuan pernapasan secara efektif pada bayi yang menunjukan usaha pernapasan lemah
c. Melakukan koraksi terhadap asidosis yang terjadi
d. Menjaga agar sirkulasi tetap baik (Wiknjosastro, 1999)



F. CARA RESUSITASI
a. Letakkan bayi dilingkungan yang hangat keudian keringkan tubuh bayi dan selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi
b. Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang datar
c. Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (sniffing positor)
d. Hisap lendir dengan menghisap lendir dec dari mulut apabila sudah bersih kemudian lanjutkan kehidung
e. Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan mengusap-usap punggung bayi.
f. Nilai Pernapasan

1. Jika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10, denyut jantung > 100 x /menit. Nilai warna kulit jika merah / sianosis perifer lakukan observasi. Apabila baru diberikan O2. denyut jantung <> 100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan
2. 60-100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV
3. 60-100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV disertai kompresi jantung
4. <> 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan

l. Jika denyut jantung 0 atau <> 100x/menit hentikan obat
n. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis tiap 3-5 menit

o. Lakukan penilaian denyut jantung jika denyut jantung tetap / tidak respon terhadap diatas dan tanpa ada hiporolemi beri natrikus dengan dosis 2 MEG / Kg BB secara IV selama 2 menit.(Wiknjosastro, 1999)



TUMBUH KEMBANG PADA ANAK
A. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Dalam ilmu kesehatan anak istilah pertumbuhan dan perkembangan menyangkut semua aspek kemajuan yang dicapai oleh jazad manusia dari konsepsi sampai dewasa.Pertumbuhan berarti bertambah besar dalam aspek fisis akibat multiplikasi sel dan bertambahnya jumlah zat interseluler. Oleh karena itu pertumbuhan dapat diukur dalam sentimeter atau incih dan dalam kilogram atau pound. Selain itu dapat pula diukur dalam keseimbangan metabolik, yaitu retensi kalsium dan nitrogen oleh badan. Perkembangan digunakan untuk menunjukkan bertambahnya keterampilan dan fungsi kompleks. Seseorang berkembang dalam pengaturan neuromoskuler, berkembang dalam mempergunakan tangan kanannya dan terbentuk pula kepribadiannya. Maturasi dan diferensiasi sering dipergunakan sebagai sinonim untuk perkembangan. Pertumbuhan fisis, sebagai pertumbuhan badan sebagai keseluruhan, Kroman menganjurkan 2 macam pemeriksaan pada anak, yaitu:
Pemeriksaan kesehatan medis (medical health examination)
Pemeriksaan kesehatan perkembangan (development health examination).
Pemeriksaan yang disebut pertama di atas menilai kondisi anak dari ada tidaknya penyakit, pemeriksaan yang disebut kedua dimaksudkan untuk menilai pertumbuhan fisis dan kedewasaannya dalam mental dan emosi. Walaupun pertumbuhan berlangsung terus secara tetap dari masa konsenpsi sampai dewasa, namun terjadi fluktuasi dalam kecepatan tumbuh seorang anak. Percepatan tumbuh yang mencapai maksimum terjadi pada akhir masa janin dan kemudian menurun terus sampai melewati masa bayi, kemudian timbul percepatan tumbuh lagi pada masa adolesensi yang kemudian menurun dan berhenti setelah mencapai umur dewasa
Faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan AnakDapat dibagi dalam 2 bagian.
Faktor heredokonstitusionil
Faktor lingkungan (pranatal dan pascanatal)
a. Faktor heredokonstusionilGen yang terdapat di dalam nukleus dari telur yang dibuahi pada masa embrio mempunyai sifat tersendiri pada tiap individu. Manifestasi hasil perbedaan antara gen ini dikenal sebagai hereditas. DNA yang membentuk gen mempunyai peranan penting dalam transmisi sifat-sifat herediter. Timbulnya kelainan familial, kelainan khusus tertentu, tipe tertentu dan dwarfism adalah akibat transmisi gen yang abnormal. Haruslah diingat bahwa beberapa anak bertubuh kecil karena konstitusi genetiknya dan bukan karena gangguan endokrin atau gizi. Peranan genetik pada sifat perkembangan mental masih merupakan hal yang diperdebatkan. Memang hereditas tidak dapat disangsikan lagi mempunyai peranan yang besar tapi pengaruh lingkungan terhadap organisme tersebut tidak dapat diabaikan. Pada saat sekarang para ahli psikologi anak berpendapat bahwa hereditas lebih banyak mempengaruhi inteligensi dibandingkan dengan lingkungan.Sifat-sifat emosionil seperti perasaan takut, kemauan dan temperamen lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan dibandingkan dengan hereditas.1. Jenis kelaminPada umur tertentu pria dan wanita sangat berbeda dalam ukuran besar, kecepatan tumbuh, proporsi jasmani dan lain-lainnya sehingga memerlukan ukuran-ukuran normal tersendiri. Wanita menjadi dewasa lebih dini, yaitu mulai adolesensi pada umur 10 tahun, pria mulai pada umur 12 tahun.2. Ras atau bangsaOleh beberapa ahli antropologi disebutkan bahwa ras kuning mempunyai tendensi lebih pendek dibandingkan dengan ras kulit putih. Perbedaan antar bangsa tampak juga bila kita bandingkan orang Skandinavia yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Italia.3. KeluargaTidak jarang dijumpai dalam suatu keluarga terdapat anggota keluarga yang pendek anggota keluarga lainnya tinggi.4. UmurKecepatan tumbuh yang paling besar ditemukan pada masa fetus, masa bayi dan masa adolesensi.b. Faktor lingkungan1. Faktor prenatal.a). Gizi (defisiensi vitamin, jodium dan lain-lain).Dengan menghilangkan vitamin tertentu dari dalam makanan binatang yang sedang hamil, Warkany menemukan kelainan pada anak binatang tersebut. Jenis kelainan tersebut dapat diduga sebelumnya dengan menghilangkan vitamin tertentu. Telah dibuktikan pula bahwa kurang makanan selama kehamilan dapat meningkatkan angka kelahiran mati dan kematian neonatal. Diketahui pula bahwa pada ibu dengan keadaan gizi jelek tidak dapat terjadi konsepsi. Hal ini disinggung pula oleh Warkany dengan mengatakan ‘The most serious congenital malformation is never to be conceived at all”.b). Mekanis (pita amniotik, ektopia, posisi fetus yang abnormal, trauma, oligohidroamnion).Faktor mekanis seperti posisi fetus yang abnormal dan oligohidroamnion dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti clubfoot, mikrognatia dan kaki bengkok. Kelainan ini tidak terlalu berat karena mungkin terjadi pada masa kehidupan intrauterine akhir. Implantasi ovum yang salah, yang juga dianggap faktor mekanis dapat mengganggu gizi embrio dan berakibat gangguan pertumbuhan.c). Toksin kimia (propiltiourasil, aminopterin, obat kontrasepsi dan lain-lain).Telah lama diketahui bahwa obat-obatan tersebut dapat menimbulkan kelainan seperti misalnya palatoskizis, hidrosefalus, distosis kranial.d). Endokrin (diabetes mellitus pada ibu, hormon yang dimakan, umur tua dan lain-lain).Bayi yang lahir dari ibu yang menderita diabetes mellitus sering menunjukkan kelainan berupa makrosomia, kardiomegali dan hiperplasia adrenal. Hiperplasi pulau Langherhans akan mengakibatkan hipoglikemia. Umur rata-rata ibu yang melahirkan anak mongoloid dan kelainan lain umumnya lebih tinggi dibandingkan umur ibu yang melahirkan anak normal. Ini mungkin disebabkan oleh kelainan beberapa endokrin dalam tubuh ibu yang meningkat pada umur lanjut, walaupun faktor lain yang bukan endokrin juga ikut berperan.e). Radiasi (sinar Rontgen, radium dan lain-lain).Pemakaian radium dan sinar Rontgen yang tidak mengikuti aturan dapat mengakibatkan kelainan pada fetus. Contoh kelainan yang pernah dilaporkan ialah mikrosefali. Spina bifida, retardasi mental dan deformitas anggota gerak. Kelainan yang ditemukan akibat radiasi bom atom di Hiroshima pada fetus ialah mikrosefali, retardsai mental, kelainan kongenital mata dan jantung.f). Infeksi (trimester I: rubella dan mungkin penyakit lain, trimester II dan berikutnya: toksoplasmosis, histoplasmosis, sifilis dan lain-lain).Rubela (German measles) dan mungkin pula infeksi virus atau bakteri lainnya yang diderita oleh ibu pada waktu hamil muda dapat mengakibatkan kelainan pada fetus seperti katarak, bisu-tuli, mikrosefali, retardasi mental dan kelainan kongenital jantung. Kongenital merupakan contoh infeksi yang dapat menyerang fetus intrauterin hingga terjadi gangguan pertumbuhan fisik dan mental. Toksoplasmosis pranatal dapat mengakibatkan makrosefali kongenital atau mikrosefali dan retinitis.g). Imunitas (eritroblastosis fetalis, kernicterus)Keadaan ini timbul atas dasar adanya perbedaan golongan darah antara fetus dan ibu, sehingga ibu membentuk antibodi terhadap sel darah merah bayi yang kemudian melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah bayi yang akan mengakibatkan hemolisis. Akibat penghancuran sel darah merah bayi akan timbul anemia dan hiperbilirubinemia. Jaringan otak sangat peka terhadap hiperbilirubinemia ini dan dapat terjadi kerusakan.g). Anoksia embrio (gangguan fungsu plasenta)Keadaan anoksia pada embrio dapat mengakibatkan pertumbuhannya terganggu.
b. Faktor Pascanatal1. Gizi (masukan makanan kualitatif dan kuantitatif).Termasuk dalam hal ini bahan pembangun tubuh yaitu protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin.2. Penyakit (penyakit kronis dan kelainan kongenital).Beberapa penyakit kronis seperti glumerulonefritis kronik, tuberkulosis paru dan penyakit sesak dapat mengakibatkan retardasi pertumbuhan jasmani. Hal yang sama juga dapat terjadi pada penderita kelainan jantung bawaan.3. Keadaan sosial-ekonomi.Hal ini memegang peranan penting dalam pertumbuhan anak, jelas dapat terlihat ukuran bayi yang lahir dari golongan orang tua dengan keadaan sosial-ekonomi yang kurang, yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi dari keluarga dengan sosial-ekonomi yang cukup.4. Musim.Di negeri yang mempunyai 4 musim terdapat perbedaan kecepatan tumbuh berat badan dan tinggi. Pertambahan tinggi terbesar pada musim semi dan paling rendah pada musim gugur. Sebaliknya penambahan berat badan terbesar terjadi pada musim gugur dan terkecil pada musim semi.5. Lain-lain.Banyak faktor lain yang ikut berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, antara lain pengawasan medis, perbaikan sanitasi, pendidikan, faktor psikologis dan lain-lain.
Kebutuhan dasar seorang anak adalah
 ASUH ( kebutuhan biomedis)
Menyangkut asupan gizi anak selama dalam kandungan dan sesudahnya, kebutuhan akan tempat tinggal, pakaian yang layak dan aman , perawatan kesehatan dini berupa imunisasi dan deteksi dan intervensi dini akan timbulnya gejal penyakit.
 ASIH ( kebutuhan emosianal)
Penting menimbulkan rasa aman (emotional security) dengan kontak fisik dan psikis sedini mungkin dengan ibu. Kebutuhan anak akan kasih sayang, diperhatikan dan dihargai, ,pengalaman baru, , pujian, tanggung jawab untuk kemandirian sangatlah penting untuk diberikan. Tidak mengutamakan hukuman dengan kemarahan , tetapi lebih banyak memberikan contoh – contoh penuh kasih sayang adalah salah satunya.
 ASAH ( kebutuhan akan stimulasi mental dini)
Cikal bakal proses pembelajaran , pendidikan , dan pelatihan yang diberikan sedini dan sesuai mungkin. Terutama pada usia 4 – 5 tahun pertama ( golden year) sehingga akan terwujud etika, kepribadian yang mantap, arif, dengan kecerdasan, kemandirian ,ketrampilan dan produktivitas yang baik.
Beberapa tingkat perkembangan yang harus dicapai pada anak umur tertentu ;
 4-6 minggu : tersenyum spontan , dapat mengeluarkan suara 1-2 minggu kemudian
 12-16 minggu : menegakkan kepala, tengkurap sendiri , menoleh ke arah suara , memegang benda yang ditaruh ditanggannya , bermain cilukba.
 20 minggu : meraih benda yang didekatkan kepadanya
 26 minggu : dapat memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya , duduk dengan bantuan kedua tangannya ke depan , makan biskuit sendiri.
 9 – 10 bulan : menunjuk dengan jari , memegang benda dengan ibu jari dan jari telunjuk, merangkak , bersuara da… da…. .
 13 - 15 bulan : berjalan tanpa bantuan , mengucapkan kata – kata tungggal , memasukkan mainan ke dalam cangkir , bermain dengan orang lain , minum dari gelas , dan mencoret – coret.










INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)
I. PENGERTIAN
Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah infeksi akut yang terjadi pada saluran napas termasuk adneksanya. Akut adalah berlangsung sampai 14 hari, Adneksa yaitu sinus,rongga telinga dan pleura
II. KLASIFIKASI
Secara anatomis yang termasuk Infeksi saluran pernapasan akut :
ISPA atas : Rinitis, faringitis,Otitis
ISPA bawah : Laringitis ,bronchitis,bronkhiolitis,pneumonia.
III. ETIOLOGI
1. Virus Utama : – ISPA atas : Rino virus ,Corona Virus,Adeno virus,Entero Virus
- ISPA bawah : RSV,Parainfluensa,1,2,3 corona virus,adeno virus
2. Bakteri Utama : Streptococus,pneumonia,haemophilus influenza,Staphylococcus aureus
3. Pada neonatus dan bayi muda : Chlamidia trachomatis, pada anak usia sekolah : Mycoplasma pneumonia.
IV. FAKTOR RESIKO
Faktor diri (host) : umur,jenis kelamin,status gizi,kelainan congenital,imunologis,BBLR dan premature.
Faktor lingkungan : Kualitas perawatan orang tua,asap rokok,keterpaparan terhadap infeksi,social ekonomi,cuaca dan polusi udara.
V. PATOFISIOLOGI
Perjalanan alamiah penyakit ISPA dibagi 4 tahap yaitu :
1. Tahap prepatogenesis : penyuebab telah ada tetapi belum menunjukkan reaksi apa-apa
2. Tahap inkubasi : virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya rendah.
3. Tahap dini penyakit : dimulai dari munculnya gejala penyakit,timbul gejala demam dan batuk. Tahap lanjut penyaklit,dibagi menjadi empat yaitu dapat sembuh sempurna,sembuh dengan atelektasis,menjadi kronos dan meninggal akibat pneumonia.
VI. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Suportif : meningkatkan daya tahan tubuh berupa Nutrisi yang adekuat,pemberian multivitamin dll.
2. Antibiotik :
- Idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab
- Utama ditujukan pada S.pneumonia,H.Influensa dan S.Aureus
- Menurut WHO : Pneumonia rawat jalan yaitu kotrimoksasol,Amoksisillin,Ampisillin,Penisillin Prokain,Pnemonia berat : Benzil penicillin,klorampenikol,kloksasilin,gentamisin.
- Antibiotik baru lain : Sefalosforin,quinolon dll.
Berbagai publikasi melaporkan tentang faktor resiko yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pneumonia. Jika dibuat daftar faktor resiko tersebut adalah sebagai berikut :
a. Faktor resiko yang meningkatkan insiden pneumonia
• Umur < 2 bulan
• Laki-laki
• Gizi kurang
• Berat badan lahir rendah
• Tidak mendapat ASI memadai
• Polusi udara
• Kepadatan tempat tinggal
• Imunisasi yang tidak memadai
• Membedong anak (menyelimuti berlebihan)
• Defisiensi vitamin A
b. Faktor resiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia
• Umur < 2 bulan
• Tingkat sosial ekonomi rendah
• Gizi kurang
• Berat badan lahir rendah
• Tingkat pendidikan ibu yang rendah
• Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah
• Kepadatan tempat tinggal
• Imunisasi yang tidak memadai
• Menderita penyakit kronis
Faktor Pendukung Penyebab ISPA
1. Kondisi Ekonomi
Keadaan ekonomi yang belum pulih dari krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak peningkatan penduduk miskin disertai dengan kemampuannya menyediakan lingkungan pemukiman yang sehat mendorong peningkatan jumlah Balita yang rentan terhadap serangan berbagai penyakit menular termasuk ISPA. Pada akhirnya akan mendorong meningkatnya penyakit ISPA dan Pneumonia pada Balita.
2. Kependudukan
Jumlah penduduk yang besar mendorong peningkatan jumlah populasi Balita yang besar pula. Ditambah lagi dengan status kesehatan masyarakat yang masih rendah, akan menambah berat beban kegiatan pemberantasan penyakit ISPA.
3. Geografi
Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki potensi daerah endemis beberapa penyakit infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis dapat mendorong terjadinya peningkatan kaus maupun kemaian penderita akibat ISPA. Dengan demikian pendekatan dalam pemberantasan ISPA perlu dilakukan dengan mengatasi semua faktor risiko dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
PHBS merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA. Perilaku bersih dan sehat tersebut sangat dipengaruhi oleh budaya dan tingkat pendidikan penduduk. Dengan makin meningkatnya tingkat pendidikan di masyarakat diperkirakan akan berpengaruh positif terhadap pemahaman masyarakat dalam menjaga kesehatan Balita agar tidak terkena penyakit ISPA yaitu melalui upaya memperhatikan rumah sehat dan lingkungan sehat.
5. Lingkungan dan Iklim Global
Pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang sarana transportasi dan polusi udara dalam rumah merupakan ancaman kesehatan terutama penyakit ISPA. Demikian pula perubahan iklim gobal terutama suhu, kelembapan, curah hujan, merupakan beban ganda dalam pemberantasan penyakit ISPA.
ISPA dan Pneumonia sangat rentan terjadi pada bayi dan Balita. Daya tahan tubuh dan juga polusi menjadi faktor pendukung terjadinya ISPA, seperti contohnya ISPA bagian atas seperti Batuk dan Pilek yang umumnya terjadi karena ketahanan tubuh kurang. dr. Ina Aniati menghimbau kepada masyarakat untuk menjaga ketahanan tubuhnya melalui konsumsi makanan bergizi dan melindungi diri dari bahaya polusi, dan bagi para orang tua yang memiliki Balita agar menghindarkan Balitanya dari asap rokok atau pun polusi berlebih.(Fie)
FORMAT
LAPORAN PENDAHULUAN


KASUS GANGGUAN KONSEP DIRI HARGA DIRI RENDAH

A. DEFINISI
• Pengertian
Harga diri adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. ( Keliat B.A , 1992 )
Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Pencapaian ideal diri atau cita – cita atau harapan langsung menghasilkan perasaan bahagia. (Budi Ana Keliat, 1998)

• Tanda dan gejala
a. Perasaan negatif terhadap diri sendiri
b. Hilang kepercayaan diri
c. Merasa gagal mencapai keingginan
d. Menyatakan diri tidak berharga, tidak berguna dan tidak mampu
e. Mengeluh tidak mampu melakukan peran dan fungsi sebagai mana mestinya
f. Menarik diri dari kehidupan sosial
g. Banyak diam dan sulit berkomunikasi
( Keliat B.A , 1992 )

• Penyebab
Koping individu tidak efektif
Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak efektif, koping merupakan respon pertahanan individu terhadap suatu masalah. Jika koping itu tidak efektif maka individu tidak bisa mencapai harga dirinya dalam mencapai suatu perilaku.( Keliat B.A , 1992 )

B. RENTANG RESPON
Menarik diri
Mekanisme terjadinya masalah :
Harga diri merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya, individu dengan harga diri rendah akan merasa tidak mampu , tidak berdaya, pesimis dapat menghadapi kehidupan, dan tidak percaya pada diri sendiri. Untuk menutup rasa tidak mampu individu akan banyak diam, menyendiri, tidak berkomunikasi dan menarik diri dari kehidupan sosial.( Keliat B.A , 1992 )

C. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor yang mempengaruhi HDR adalah penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistic. Tergantung pada orang tua dan ideal diri yang tidak realistic. Misalnya ; orang tua tidak percaya pada anak, tekanan dari teman, dan kultur sosial yang berubah . (Budi Ana Keliat, 1998)

D. FAKTOR PRESIPITASI
• Ketegangan peran
• Stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami dalam peran atau posisi
• Konflik peran
• Ketidaksesuaian peran dengan apa yang diinginkan
• Peran yang tidak jelas
• Kurangnya pengetahuan individu tentang peran
• Peran yang berlebihan
• Menampilkan seperangkat peran yang konpleks
• Perkembangn transisi
• Perubahan norma dengan nilai yang taksesuai dengan diri
• Situasi transisi peran
• Bertambah/ berkurangnya orang penting dalam kehidupan individu
• Transisi peran sehat-sakit
• Kehilangan bagian tubuh, prubahan ukuran, fungsi, penampilan,
• prosedur pengobatan dan perawatan. . (Budi Ana Keliat, 1998)

E. MEKANISME KOPING
Koping individu tidak efektif
Gangguan isolasi sosial : menarik diri
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
( Keliat B.A , 1992 )






F. DATA FOCUS PENGKAJIAN
1. Isolasi sosial : menarik diri
Data yang perlu dikaji
a. Lebih banyak diam
b. Lebih suka menyendiri/ hubungan interpersonal kurang
c. Personal hygiene kurang
d. Merasa tidak nyaman diantara orang
e. Tidak cukupnya ketrampilan sosial
f. Berkurangnya frekwensi, jumlah dan spontanitas dalam berkomunikasi
2. Gangguan konsep diri harga diri rendah
Data yang perlu dikaji
a. Perasaan rendah diri
b. Pikiran mengarah
c. Mengkritik diri sendiri
d. Kurang terlibat dalam hubungan sosial
e. Meremehkan kekuatan/ kemampuan diri
f. Menyalahkan diri sendiri
g. Perasaan putus asa dan tidak berdaya.
( Keliat B.A , 1992 )

























FORMAT
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)


Hari : Jum’at Nama klien : Tn A
Tanggal : 14 oktober 2010 No. RM : 103256
Jam : 15.30 WIB Nama perawat : Asep Ence S

A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi Klien : Sering menyendiri
DS : Klien lebih seneng menyendiri
DO : - Banyak diem
- Sulit berkomunikasi sama teman-temannya
- Pandangan mata kosong
2. Diagnosa keperawatan :
Gangguan isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

3. Tujuan Keperawatan:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

4. Tindakan Keperawatan :
a. Bina hubungan saling percaya
1) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2) Perkenalkan diri dengan sopan
3) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
4) Jelaskan tujuan pertemuan
5) Jujur dan menepati janji
6) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7) Beri peerhatian pada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
2) Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif
3) Utamakan memberikan pujian yang realistis





B. STRATEGI KOMUNIKASI DALAM PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Fase Orientasi

a. Salam terapeutik :
“ Assalamualaikum, selamat pagi bapak! Bagaimana keadaan bapak pagi ini ? “

b. Perkenalan :
“Perkenalkan bapak nama saya Asep Ence Suparmo, saya biasa dipanggil Asep, nama bapak siapa ? dan panggilan apa yang bapak sukai ?
“Baiklah bapak, di sini saya akan menemani bapak, saya akan duduk di samping bapak, jika bapak akan mengatakan sesuatu saya siap mendengarkan."

c. Membuka pembicaraan dengan topik yang umum :
“ Bapak, gimana tidurnya tadi malam? Nyenyak apa gelisah? “
d. Evaluasi/validasi
"Bagaimana perasaan bapak hari ini, saya ingin sekali ingin membantu menyelesaikan masalah bapak dan saya harap bapak mau bekerja sama dengan saya, kalau boleh saya tahu apa yang terjaadi di rumah sehingga bapak sampai dibawa kemari ?"
e. Kontrak
"Bapak bagaimana kalau hari ini kita bincang-bincang tentang kemampuan yang bapak miliki, di mana kita ngobrol bapak ? berapa lama ?
Baiklah bagaimana kalau kita nanti ngobrol di taman selama + 15 menit.

f. Topik : Gangguan harga diri rendah
g. Waktu : 15 menit
h. Tempat :Di Taman




2. Fase Kerja (langkah-langkah tindakan keperawatan)
a. "Nah, coba bapak cari kemampuan yang bisa bapak lakukan selama sebelum sakit. Baik, apalagi bapak ?"
b. "Bagus sekali ternyata bapak memiliki kemampuan yang banyak sekali."



3. Fase terminasi
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
Evaluasi klien (subjektif)
1) "Apa yang bapak rasakan setelah kita bincang-bincang selama 15 menit tadi ?"
2) "Bisa bapak ulangi lagi apa yang telah kita bicarakan tadi ?"

b. Evaluasi perawat (obektif setelah reinforcement):
Klien bisa diajak berkomunikasi
c. Rencana tindak lanjut
1) Berkomunikasi lebih lama
2) Menggali semua masalah klien

d. Kontrak yang akan datang (topic,waktu,tempat) :
• Topik : Gangguan Harga Diri Rendah
• Waktu : 15 menit
• Tempat : Di Taman atau di halaman

Kamis, 07 Juli 2011

Halusinasi


KATA PENGANTAR



Assalamualaikum Wr. Wb.
Tiada kata yang pantas terucap disetiap awal karya tulis mahasisiwa, selain ungkapan rasa syukur kita kepada Allah SWT yang telah teramat banyak memberi kemudhan dan kesempatan kepada kami untuk menyusun laporan ini.
Dalam belajar kami tidak hanya berupaya untuk memahami dan mempelajari ilmu, kami harus bisa dan dapat memberikan manfaat terhadap kehidupan manusia atas ilmu yang telah kami pelajari.
Ucapan terima kasih yang tulus atas kepercayaan yang besar yang telah percaya terhadap kami. Dan tak lupa pula terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen mata kuliah, serta teman-teman saya yang terlibat dalam menyelesaikan laporan presentasi ini.
Dalam penyusunan makalh ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik material maupun moral. Oleh karna itu kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Ibu Kholis Nurhandayani, S.Kp., M.Kep, selaku Direktur AKPER Subang
2.      Ibu Hikmah Parlinah, AMK,. S.Pd, selaku dosen pembimbing
3.      Teman-teman yang telah membantu tersusunya makalah ini.
4.      Semua pihak yang telah ikut serta dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa susunan makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran nya yang sifatnya membangun terutama dari rekan-rekan dan dosen mata kuliah yang bersangkutan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat dengan baik bagi kami khususnya dan pembaca pada umumnya. Serta makalah ini dapat disajikan sebagai tolak ukur dalam pembuatan laporan berikutnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Subang,   April 2010


Penyusun

DAFTAR ISI


Halaman
KATA PENGANTAR ...............................................................................              i
DAFTAR ISI ..............................................................................................             ii

BAB I    PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .......................................................................             1
B.     Tujuan ....................................................................................             1

BAB II   TINJAUAN TEORITIS
A.    Definisi ...................................................................................             2
B.     Penyebab Halusinasi ..............................................................             2
C.     Akibat Dari Halusinasi ...........................................................             4
D.    Jenis-Jenis Halusinasi .............................................................             5
E.     Tahapan Halusinasi ................................................................             6
F.      Rentang Respon Halusinasi ...................................................             7
G.    Konsep Dasar Keperawatan ...................................................             8
H.    Masalah Keperawatan ............................................................             9
I.       Diagnosa Keperawatan ..........................................................             9
J.       Perencanaan ...........................................................................           10
K.    Implementasi ..........................................................................           13
L.     Evaluasi ..................................................................................           14

Bab III Penutup
A.    Kesimpulan ............................................................................           15
B.     Saran ......................................................................................           15

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju. Meskipun masalah kesehatan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabakan kematian secara langsung, namun gangguan tersebut dapat menimbulkan ketidakmampuan individu dalam berkarya serta ketidaktepatan individu dalam berprilaku yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat menghambat pembangunan karena mereka tidak produktif (Hawari, 2000).
Salah satu masalah kesehatan jiwa yang sering terjadi dan menimbulkan hendaya yang cukup skizofrenia. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang saring ditunjukan oleh adanya gejala positif, diantaranya adalah halusinasi. Halusinasi merupakan persepsi klien terhadap lingkungan tanpa adanya stimulus yang nyata atau klien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa adanya stimulus atau rangsangan dari luar. Penanganan atau perawatan intensif perlu diberikan agar klien skizofrenia dengan halusinasi tidak melakukan tindakan yang dapat membahayakan dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan.

B.     Tujuan
1.      Tujuan Umum
Dengan dibuatnya makalah ini adalah sebagai catatan bagi kami dan sebagai penanggung jawaban bila ada tuntutan hukum
2.      Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu :
a.       Mamahami apa itu Halusinasi dan Persepsi
b.      Mampu mengetahui gejala-gejala dari Halusinasi dan Persepsi
c.       Mampu mengetahui cara perawatan Klien Halusinasi dan Persepsi

BAB II

TINJAUAN TEORITIS


A.    Definisi
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sundenn, 1998).
Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar/terbangun. (Maramis, hal 119)
Halusinasi yaitu gangguan persepsi (proses penyerapan) pada panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar pada pasien dalam keadaan sadar.
Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses penerimaan rangsang (Stuart, 2007).
Persepsi merupakan tanggapan indera terhadap rangsangan yang datang dari luar, dimana rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecapan dan perabaan. Interpretasi (tafsir) terhadap rangsangan yang datang dari luar itu dapat mengalami gangguan sehingga terjadilah salah tafsir (missinterpretation). Salah tafsir tersebut terjadi antara lain karena adanya keadaan afek yang luar biasa, seperti marah, takut, excited (tercengang), sedih dan nafsu yang memuncak sehingga terjadi gangguan atau perubahan persepsi.

B.     Penyebab Halusinasi
Salah satu penyebab dari Perubahan sensori perseptual : halusinasi yaitu isolasi social : menarik diri. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).

Tanda dan Gejalanya :
§  Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
§  Menghindar dari orang lain (menyendiri)
§  Komunikasi kurang/ tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/ perawat
§  Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
§  Berdiam diri di kamar/ klien kurang mobilitas
§  Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap
§  Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari.
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
1.      Faktor predisposisi
a.       Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
1)      Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
2)      Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
3)      Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
b.      Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
c.       Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2.      Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).

Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
a.       Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b.      Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c.       Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

C.    Akibat Dari Halusinasi
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

Tanda dan Gejala :
·         Memperlihatkan permusuhan
·         Mendekati orang lain dengan ancaman
·         Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
·         Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
·         Mempunyai rencana untuk melukai

D.    Jenis-Jenis Halusinasi
Menurut Stuart (2007) halusinasi terdiri dari tujuh jenis. Penjelasan secara detail mengenai karakteristik dari setiap jenis halusinasi :
1.      Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.
2.      Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
3.      Penghirupan/Penciuman
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
4.      Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses


5.      Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6.      Genestetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau pembentukan urine.
7.      Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

E.     Tahapan Halusinasi
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
1.      Fase I :
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
2.      Fase II :
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
3.      Fase III :
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
4.      Fase IV :
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

F.     Rentang Respon Halusinasi
Menurut Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Rentang respon tersebut digambarkan pada gambar 2 di bawah ini.
Rentang respon neurobiologi pada gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Pikiran logis : yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
2.      Persepsi akurat: yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra                       yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
3.      Emosi konsisten: yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.
4.      Perilaku sesuai: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya umum yang berlaku.
5.      Hubungan social harmonis: yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar individu dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.
Berdasarkan gambar diketahui bahwa halusinasi merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), sedangkan klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada.
G.    Konsep Dasar Keperawatan
1.      Pengkajian
Menurut Stuart dan Laraia (2001), pengkajian merupakan tahapan awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkam menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien.
Berbagai aspek pengkajian sesuai dengan pedoman pengkajian umum, pada formulir pengkajian proses keperawatan. Pengkajian menurut Keliat (2006) meliputi beberapa faktor antara lain:
a.       Identitas klien dan penanggung
Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b.      Alasan masuk rumah sakit
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda –tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi:
a.       Isi halusinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien, jika halusinasi visual, bau apa yang tercium jika halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap jika halusinasi pengecapan,dan apa yang dirasakan dipermukaan tubuh jika halusinasi perabaan.
b.      Waktu dan frekuensi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien perlu perhatian saat mengalami halusinasi.
c.       Situasi pencetus halusinasi.
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu perawat juga bias mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
d.      Respon Klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya.

H.    Masalah  Keperawatan
Menurut Keliat (2006) masalah keperawatan yang sering terjadi pada klien halusinasi adalah:
Ø  Perubahan persepsi sensori :  halusinasi pendengaran.
Ø  Resiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan.
Ø  Isolasi sosial :  menarik diri.
Ø  Gangguan konsep diri :  harga diri rendah.
Ø  Intoleransi aktifitas.
Ø  Defisit perawatan diri.

I.       Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian teknik mengenai respon individu, keluarga, komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual maupun potensial (NANDA, 2001 dikutip oleh Keliat, 2006).
Rumusan diagnosis menurut Keliat (2006) dapat berupa:
·         Problem (masalah): nama atau label diagnosa.
·         Etiology (penyebab): alasan yang dicurigai dari respon yang telah diidentifikasi dari pengkajian.
·         Sign dan sympton (tanda dan gejala): manifesitasi yang diidentifikasi dalam pengkajian yang menyokong diagnosa keperawatan.
Ada beberapa diagnosa keperawatan yang sering ditemukan pada klien dengan halusinasi menurut Keliat (2006) yaitu:
a.       Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan berhubungan dengan halusinasi pendengaran.
b.      Perubahan persepsi sensori: halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik diri.
c.       Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
d.      Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktifitas.

J.      Perencanaan
Perencanaan tindakan keperawatan menurut Keliat (2006 ) terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan umum, tujuan khusus dan intervensi keperawatan.
Rencana tindakan keperawatan pada klien dengan masalah utama perubahan persepsi sensori: halusinasi pendengaran adalah sebagai berikut:

Diagnosa 1:
Resiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan dengan halusinasi pendengaran.

Tujuan umum:
Tidak terjadi perilaku kekerasan yang diarahkan kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Tujuan khusus:
TUK 1:
Klien dapat membina hubungan saling percaya
Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas salam, mau duduk dekat perawat.

Intervensi:
1.      Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal, perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien apa adanya.
Rasional:
Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
2.      Dorong klien mengungkapkan perasaannya.
Rasional:
Mengetahui masalah yang dialami oleh klien.
3.      Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati.
Rasional:
Agar klien merasa diperhatikan.

Diagnosa 2:
Perubahan persepsi sensori; halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik diri.
Tujuan umum:
Klien dapat berhubungan dengan orang lain untuk mencegah timbulnya halusinasi.
Tujuan khusus:
TUK 1:
1.      Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2.      Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas salam, mau duduk dekat perawat.
Intervensi:
1.      Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal, perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien apa adanya.
Rasional:
Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
Dorong klien mengungkapkan perasaannya.
Rasional:
Mengetahui masalah yang dialami oleh klien.
2.      Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati
Rasional :
Agar klien merasa diperhatikan.

Diagnosa 3:
Isolasi sosial menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
Tujuan umum:
Klien dapat berhubungan dengan orang lain tanpa merasa rendah diri.
Tujuan khusus:
TUK 1:
1.      Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2.      Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas salam, mau duduk dekat perawat.
Intervensi:
1.      Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal, perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien apa adanya.
Rasional:
Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
2.      Dorong klien mengungkapkan perasaannya.
Rasional:
Mengetahui masalah yang dialami oleh klien.
3.      Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati.
Rasional:
Agar klien merasa diperhatikan.

Diagnosa 4:
Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktifitas.
Tujuan umum:
Klien dapat meningkatkan motivasi dalam mempertahankan kebersihan diri.
Tujuan khusus:
TUK 1:
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Ekspresi wajah bersahabat, klien nampak tenang, mau berjabat tangan, membalas salam, mau duduk dekat perawat.

Intervensi:
1.      Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal, perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien apa adanya.
Rasional:
Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi perawat dan klien.
2.      Dorong klien mengungkapkan perasaannya.
Rasional:
Mengetahui masalah yang dialami oleh klien.
3.      Dengarkan klien dengan penuh perhatian dan empati.
Rasional:
Agar klien merasa diperhatikan.

K.    Implementasi
Menurut Keliat (2006), implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama yang aktual dan mengancam integritas klien beserta lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini (here and now). Hubungan saling percaya antara perawat dengan klien merupakan dasar utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.

L.     Evaluasi
Evaluasi menurut Keliat (2006) adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan kepada klien.
Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang dilaksanakan.
Evaluasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan tiap selesai melakukan tindakan keperawatan dan evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respons klien dengan tujuan yang telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP dengan penjelasan sebagai berikut:
Ø S   :  Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan. Dapat diukur dengan menanyakan pertanyaan sederhana terkait dengan tindakan keperawatan seperti “coba bapak sebutkan kembali bagaimana cara mengontrol atau memutuskan halusinasi yang benar?
Ø O  :  Respon objektif dari klien terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien pada saat tindakan dilakukan.
Ø A :   Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan hasil dengan tujuan.
Ø P :   Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien yang terdiri dari tindak lanjut klien dan tindak lanjut perawat.


BAB III

PENUTUP



A.    Kesimpulan
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan.
Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi somatik dengan impuls dan stimulus eksternal. Dengan maksud bahwa manusia masih mempunyai kemampuan dalam membandingkan dan mengenal mana yang merupakan respon dari luar dirinya. Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara fantasi dan kenyataaan. Mereka dalam menggunakan proses pikir yang logis, membedakan dengan pengalaman dan dapat memvalidasikan serta mengevaluasinya secara akurat.
Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai halusinasi di atas, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata. Sedangkan halusinasi pendengaran adalah kondisi dimana pasien mendengar suara, terutamanya suara–suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

B.     Saran
1.      Kenali tanda-tanda, dan gejala Halusinasi dan Persepsi
2.      Ketahui dan hindari hal-hal yang mengakibatkan Halusinasi dan Persepsi